Mendidik Anak Adalah Sebuah Investasi


(sumber :http://my.opera.com/madrasah-keluarga/blog/show.dml/91758)

Rasulullah SAW memberi pedoman kepada kita, bahwa pada saat semua amalan yang lain menjadi terputus, anak shaleh yang mendo’akan orang tuanya merupakan salah satu peninggalan yang membuahkan manfaat besar. 

Lebih dari itu, buah dari pendidikan yang baik bagi anak-anak akan dirasakan bukan hanya oleh orang tuanya, melainkan juga oleh masyarakat, baik dalam lingkup kecil antar tetangga maupun dalam lingkup besar berupa negara dan bahkan seluruh umat manusia di muka bumi ini. 

Betapa tidak, seorang anak yang tumbuh menjadi orang yang berilmu, taat kepada Allah, dan berakhlaq terpuji adalah dambaan semua orang. Kehadirannya selalu ditunggu karena ia bermanfaat bagi masyarakatnya. Berbeda dengan anak-anak yang tumbuh ‘liar’ dan bergelimang kerusakan moral, tak satu pun orang menyukai kehadirannya, kecuali dari kalangan mereka yang juga rusak dan ‘liar’. Sehingga bukan hanya orang tuanya yang resah dan gelisah karena perilakunya, namun termasuk juga masyarakat di sekelilingnya.

Banyak orang tua menganggap, bahwa ‘uang’ adalah alat utama agar anaknya terdidik dengan baik. Maka sibuklah para orang tua itu mencari uang tanpa mengenal batas waktu (pagi, siang, bahkan sampai malam dan berhari-hari di luar kota), dengan harapan anak-anaknya bisa mendapat pendidikan terbaik dengan bersekolah setinggi-tingginya. Padahal ternyata dengan jarangnya pertemuan anak dengan orang tuanya, maka dua prinsip sukses pendidikan, yaitu perhatian/pengakuan dan keteladanan telah hilang. Maka tak heran harapan orang tua pun akhirnya kandas.

Jika anak-anak itu mau berkata jujur tentang apa yang diinginkannya, maka mungkin banyak orang tua tercengang. Karena ternyata bukan uang yang membuat mereka bahagia, melainkan justru kehadiran orang tuanya di tengah-tengah mereka dan mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk mereka. 

Banyak anak memilih teman-temannya sebagai tempat curhat daripada orang tuanya. Itu bukan semata karena lazimnya/normalnya demikian, melainkan karena kebanyakan orang tua tidak memposisikan diri sebagai teman yang nyaman untuk diajak berbagi. 

Menipisnya kepercayaan anak kepada orang tuanya sebenarnya telah dimulai sejak anak masih kecil, di mana orang tua lebih sering tidak menjawab apa yang ditanyakan anaknya, walaupun itu untuk hal-hal yang remeh. Alasannya karena orang tua sedang sibuk bekerja dan sebagainya. Lama kelamaan kebiasaan itu menumbuhkan persepsi , bahwa ayah dan ibunya tidak mau mendengar, apalagi memecahkan persoalan yang ia hadapi. Maka dicarilah orang lain sebagai penggantinya, baik teman atau siapapun yang mau mendengar keluh-kesahnya.

Cermatilah anak-anak korban narkoba dan sejenisnya. Mengapa mereka terjerumus ke dalam kehidupan yang kelam itu? Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak yang merasa dirinya tidak berarti lagi, tanpa penghargaan/pengakuan orang tuanya. Kalaupun ada sebagian yang lain (di luar alasan itu), entah karena diajak teman atau hanya sekedar coba-coba, pada prinsipnya mereka tidak menjadikan orang tua mereka sebagai tempat berkomunikasi dan berkonsultasi, sehingga bisa menyelamatkan mereka dari jeratan keburukan. Mereka merasa lebih nyaman berkomunikasi dengan teman-temannya daripada dengan orang tuanya.

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Q.S At Tahriim (66):6)

Peran orang tua ternyata sangat menentukan nasib anak-anaknya di kemudian hari. Jika diibaratkan dalam sebuah kapal, orang tua itu adalah nahkoda dalam keluarganya. Adalah tugas orang tua untuk menetapkan ke mana kapal akan berlabuh, apa yang harus disiapkan untuk menempuh samudera luas yang penuh tantangan, dan bagaimana caranya agar semua penumpang kapal mampu menghadapi semua tantangan itu sehingga tiba selamat di tempat tujuan. Ilmu pengetahuan, kesabaran, kasih sayang dan ketulusan, serta rasa tanggung jawab yang tinggi adalah modal untuk membawa diri dan keluarga kepada keselamatan itu. 

Membekali anak-anak dengan ilmu. Itulah sesungguhnya investasi terbesar dan paling menguntungkan bagi mereka yang mengharap keridhaan Tuhannya. Maka buatlah kurikulum pendidikan anak kita sekarang juga? Wallahualam bish shawwaab.*** (Penulis adalah seorang ibu rumah tangga, tinggal di Bandung)